Headlines News :

Home » » K.H. ABDUL WAHID HASYIM (1914-1953)

K.H. ABDUL WAHID HASYIM (1914-1953)

Written By Unknown on 10 Juni 2012 | 21.55


Abdul Wahid Hasyim, Tebuireng
Terlahir sebagai anak ulama besar. Di usia 31 tahun ia sudah menjadi menteri negara. Mempertahankan Departemen Agama dan mengembangkan perguruan tinggi Islam.
NAMA lengkapnya Abdul Wahid Hasyim (Lahir di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914). Ia adalah anak kelima dari 10 bersaudara pasangan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dengan Nafiqah. Sebagai anak seorang kiai, Wahid belajar dari lingkungan keluarganya. Sejak usia 5 tahun, is sudah belajar membaca Al-Qur’an yang dibimbing langsung oleh ayahnya. Ia menempuh pendidikan madrasah dari lingkungan pesantren Tebuireng dan malam harinya mendapat pelajaran khusus dari ayahnya. Kondisi ini dilakoninya sampai usia 12 tahun.
Kitab-kitab klasik yang dipakai dipesantren, seperti Fath al-Qarib (kemenangan bagi yang dekat) dan al-Minhaj al-Qawim (jalan yang lurus), sudah ia pelajari di usia 7 tahun. Buku tentang kesusastraan, seperti Diwan asy-Syllara (kumpulan penyair dengan syair-syairnya), juga dilahapnya. Ketika usianya lepas 12 tahun, ia pergi ke berbagai pesantren. Antara lain ke pesantren Siwalan Panji, dan Lirboyo di Kediri. Kitab-kitab seperti Sullam at-Taufiq (tangga untuk mendapat taufik), Bidayall al Mujtahid (permulaan bagi Mujahid) dan Tafi;ir al-falalain (Tafsir bagi dua tokoh yang bemama Jalal), ia pelajari secara khusus. Hanya sekitar 3 tahun ia menimba ilmu di luar Tebuireng, Wahid kembali ke rumahnya dan dibimbing oleh ayahnya lagi. Di usia 15 tahun Wahid mempelajari bahasa bahasa-bahasa dunia, selain Arab, ia juga mempelajari bahasa Belanda dan Inggris.
ABDUL WAHID HASYIM
Pada usia 18 tahun, Wahid menunaikan haji. Kesempatan itu ia gunakan untuk memperdalam dan memperlancar bahasa Arab. Pulang dari Mekah, ia mengadakan pembaruan dalam sistem pendidikan di pesantren. Antara lain, dengan memasukkan pelajaran ilmu-ilmu umum di dalam kurikulum pondok pesantren. Awalnya ia mendapat kecaman yang cukup keras dari kalangan kiai, tapi, lama kelamaan kritikan itu pupas seiring keberhasilan pondok dan minat yang luar biasa dari orangtua santri untuk memasukkan anak-anak mereka ke Tebuireng. Di usia 20-an, Wahid sudah menghabiskan waktunya untuk aktivitas Nandlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh, antara lain, ayahandanya, Kiai Haji Hasyim Asy’ari. Meski anak sang pendiri, tapi karer di ormas terbesar ini ia rintis dari bawah, dari ranting Tebuireng sampai menjadi Ketua Pendidikan Ma’arif NU. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi dan berubah menjadi partai politik, tahun 1950, Wahid terpilih sebagai ketua Biro Politik NU.
Karir politik Wahid dirintisnya sejak tahun 1944 ketika ia memboyong keluarganya ke Jakarta. Bermula dari posisinya sebagai Ketua II Majelis Syura Dewan Partai Masyumi tahun 1945. Posisinya sama dengan Ki Bagus Hadikusumo (ketua I) dan Mr. Kasman Singodimejo (ketua III), sedangkan ketua umumnya dijabat oleh Hasyim Asy’ari, ayah Wahid.
Karir di pemerintahan, ketika masa revolusi, ia pernah menjabat sebagai menteri negara. Pada 20 Desember 1949, Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Hatta. Kabinet boleh berganti, tapi jabatan menteri agama tetap ia pegang. Setelah Kabinet Hatta (1949-1950) berakhir, di era Kabinet Natsir (1950-1951) dan Sukiman (1953), Wahid tetap menjadi menteri agama, sampai meninggal pada 19 April 1953, dalam sebuah kecelakaan mobil di daerah Cimahi, Bandung.
BERJUANG UNTUK SYARIAT
Ketika pada 7 Desember 1944 Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk, Wahid masuk sebagai salah seorang anggotanya. Ia adalah anggota termuda. Badan baru ini pun dua kali mengadakan sidang, 28 Mei-1 juni 1945 dan 1017 Juli 1945. Inilah babak baru dalam perumusan dasar negara yang mewarnai kehidupan bernegara Indonesia sepanjang masa. Perdebatan sengit terjadi antara kalangan nasionalis dengan kalangan Islamis. Soekarno mewakili kalangan nasionalis yang netral agama. Sementara, di pihak Islam, Abdoel Kahar Moezakkir, Ki Bagus Hadikusuma, K.H. Ahmad Sanusi , dan Wahid Hasyim. Di antara para anggota itu, Wahid adalah yang paling muda, baru berusia 31 tahun. Meski usianya muda, tapi ilmu yang dipunyai tak semuda usianya. Ia mampu menangkal argumentasi yang diusung oleh kelompok nasionalis.
Rupanya, perdebatan tak menemukan jalan keluar. Masing-masing pihak, termasuk Wahid Hasyim, bersikukuh dengan pendapatnya. Maka, dibentuklah pantia sembilan, sebuah panitia kecil yang terdiri dari empat wakil Islam (Haji Agus Salim, Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdoel Kahar Moezakkir) dan lima kalangan nasionalis dan nonmuslim (Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Achmad Subardjo, dan Muhammad Yamin) Hasilnya, panitia kecil tersebut berhasil merumuskan pembukaan UUD yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta, di mana pada sila pertama tertulis, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Ini terjadi pada 22 Juni 1945. Inilah yang, oleh panitia kecil diangap sebagai jalan tengah maksimal yang bisa mengompromikan dua arus besar dalam persidangan pertama. Maramis, wakil dari Nasrani, kepada Abikusno dan Kahar Moezakir menyatakan persetujuannya. “Setuju 200%,” kata Maramis.
Tapi, rupanya, perjalanan tak semulus seperti yang diharapkan. Pada bulan Agustus 1945, satu persatu ide Islamisasi ini digugurkan. Setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk sebagai ganti BPUPKI, hanya dua wakil Islam yang duduk di sana. Mereka adalah Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo (wakil dari Muhammadiyah). Mereka ini memang wakil-wakil ormas yang tangguh, tapi bukanlah politikus yang berpengalaman. Setidaknya bila dibandingkan dengan kelompok nasionalis yang sudah malang melintang di dunia politik jauh sebelum tahun 1940.
Dalam sidang-sidang berikutnya, dan puncaknya pada 18 Agustus 1945, kalimat tentang “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dihapus dari Mukadimah UUD 1945. Adapun penghapusan piagam Jakarta tersebut bermula dari pagi hari 18 Agutus 1945, sebelum sidang panitia persiapan dimulai, Hatta mengundang 4 orang panitia yang dianggap mewakili umat Islam. Mereka adalah Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan. Kepada mereka Hatta mengatakan kalau ia telah didatangi oleh seorang perwira angkatan laut Jepang yang membawa pesan dari rakyat Kristen di daerah Indonesia Timur akan menolak masuk ke dalam pangkuan republik bila rumusan Piagam Jakarta itu masuk dalam konstitusi. Orang-orang Kristen merasa ada diskriminasi atas apa yang tercantum dalam Piagam Jakarta tersebut. Padahal, baik Hatta maupun Maramis (wakil Kristen) tidak keberatan atas usulan tersebut. Tapi, karena ada berita tidak sedap dari perwira Jepang itu, maka Hatta pun membicarakannya kepada para wakil-wakil Islam. Hatta lalu menyarankan agar kata-kata yang ada dalam Piagam Jakarta itu dieliminir. Dan kata Ketuhanan diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Saat itulah, kata Hatta, Wahid Hasyim memberi komentar, “Kata Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan tauhid dalam Islam, dan pergantian kalimat tersebut akan memuaskan kalangan Islam. Hanya Islam yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dalam catatan sejarah, kehadiran Wahid Hasyim dalam pertemuan dengan Hatta tersebut masih kontroversial. Menurut Hatta, Hasyim hadir dalam pertemuan tersebut, begitu pula menurut Kasman Singodimedjo. Tapi, menurut Prawoto Mangkusasmita, Wahid Hasyim tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Begitu pula pendapat tokoh Masyumi, K.H. Isa Ansyari, di depan Konstituante tahun 1957. Menurutnya, Wahid Hasyim tidak hadir dalam pertemuan tersebut. “Kejadian ini mencolok mata, seperti permainan sulap, penuh patgulipat politik,” paparnya memberi ilustrasi bagaimana kelompok nasionalis menelikung wakil-wakil dari umat Islam. Lepas dari kontroversi tentang hadir tidaknya Wahid dalam pertemuan dengan Ha tta itu, yang menarik di sini adalah sikapnya setelah “pertemuan” tersebut. Di berbagai forum, ia tak pernah menyinggung soal pertemuan wakil-wakil Islam dengan Hatta, bahkan tidak juga membicarakan soal piagam Jakarta. Ini menunjukkan kebesaran jiwa Wahid yang menghargai apa-apa yang dihasilkan oleh sebuah forum. Sebagai seorang muslim, Wahid tak perlu diragukan lagi bahwa dia adalah seorang yang teguh dalam memperjuangkan Islam, tapi, sebagai seorang demokrat sejati, ia menghargai keputusan dalam sebuah forum. Bagi kalangan Islam, Piagam Jakarta bukanlah sesuatu yang tabu untuk dihidupkan kembali. Menjelang Pemilu I tahun 1955, wacana tentang Piagam Jakarta dihidupkan kembali. Semua partai-partai Islam merujuk ke Piagam Jakarta. Andaikan Wahid Hasyim masih hidup di tahun 1955, bisa jadi ia akan menjadi seorang wakil Islam yang gigih dalam memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta. Munculnya Dekrit presiden tahun 1959 misalnya, dengan kembali ke UUD 1945, Piagam Jakarta disebut-sebut sebagai telah menjiwai UUD tersebut.
DEPARTEMEN AGAMA
Sebelum menjadi Menteri Agama di dalam kabinet Hatta, Wahid sudah menjadi Menteri Negara. Ini terjadi pada tahun 1945 dalam Kabinet Soekarno, dan dalam Kabinet Sjahrir III (1946-1947). Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam bidang pemerintahan, bukanlah sesuatu yang asing baginya. Meski Kementerian agama sudah berdiri pada tahun 1946, tapi goyangan terhadap kementerian ini terus melaju di era Wahid Hasyim menjadi menterinya. Berbagai argumen tentang tidak pentingnya kementerian ini bergulir terus. Tapi Wahid Hasyim, dengan berbagai argumentasinya, berusaha mempertahankan dan mengembangkan kementrian agama. Bagi mereka yang tak setuju dengan Departemen Agama, punya argumentasi bahwa negara tidak mengurusi soal-soal agama. Argumen ini dijawab oleh Wahid, bahwa, meski negara kita bukan negara agama, tapi negara tak bisa lepas begitu saja terhadap persoalan agama. “Hanya negara Ateis yang melepaskan diri dari agama,” paparnya. Departemen ini penting, menurut Wahid, untuk mengurusi masalah-masalah keumatan. Ada juga yang mengkritik bahwa Depag lebih banyak mengurusi kepentingan umat Islam. Hal ini dengan mudah dijawab oleh Wahid, bahwa jumlah umat Islam di Indonesia itu mayoritas, karena itu wajar bila pemerintah memberikan perhatian lebih kepada mereka. Dalam kenyataannya, pemeluk agama-agama selain Islam, juga mendapat perlakuan yang sama di dalam Depag.
Di era Wahid Hasyim menjadi menteri agama ini pula lahirlah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta . Kelahirannya berdasarkan Peraturan Pemerintah No 34 tahun 1950 bahwa Fakultas Agama di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dikembangkan menjadi PTAIN. Peresmiannya dilakukan pada 15 September 1951. Adapun latarbelakang berdirinya PTAIN ini, menurut Wahid, karena umat Islam belum punya lembaga tinggi untuk mencetak kader-kader yang paham akan agamanya. Di banding dengan komunitas nonmuslim, umat Islam tertinggal. Umat Kristen sudah punya Sekolah Tinggi Teologi, tapi umat Islam belum punya perguruan tinggi serupa. PTAIN inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang kini, sebagian sudah menjadi berkembang dan berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
BIODATA Nama: Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim
Lahir: Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914
Meninggal: Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953
Agama: Islam
Isteri:  Sholichah
Anak:
- Abdurrahman Wahid
- Aisyah Wahid
- Salahuddin Wahid
- Umar Wahid
- Lily Khodijah Wahid
- Muhammad Hasyim Wahid
Ayah:  KH. M. Hasyim Asy’ari
Ibu:  Nyai Nafiqah

Karir: 
- Pengurus Nahdlatul Ulama, mulai dari jabatan Sekertaris NU Ranting Cukir, Ketua Cabang NU Kabupaten Jombang (1938) dan Pengurus PBNU bagian ma’arif (pendidikan), 1940 dan Ketua Tanfidiyyah PBNU,1948 
- Ketua Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), 1940
- Pengasuh Pesantren Tebuireng (1947 – 1950)
- Pendiri Sekolah Tinggi Islam (UIN) di Jakarta, 1944
- Anggota BPUPKI dan PPKI, 1945
-
- Bersama M. Natsir menjadi pelopor pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia yang diselenggarakan di Jogjakarta dan mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), 1948
- Ketua Umum Partai NU, 1952



Share this article :

0 komentar :

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Loading....

Sering dilihat

Jadwal Sholat

Berlangganan Artikel

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

 
Copyright © 2011. Maheswaranet - Just out of my mind - All Rights Reserved
Support : Maz Template
Template Edited by Ilu2Mz
Proudly powered by Blogger